“Saya pulang dan berkata kepada Ibu Negara: ‘Saya berbicara dengan Vladimir hari ini. Percakapan kami luar biasa.’ Tapi ia menjawab, ‘Oh ya? Kota lain baru saja diserang,’” kata Trump dalam wawancara bulan lalu.
Di sisi lain, Putin sendiri tak memberikan tanggapan langsung terhadap ultimatum Trump. Namun dalam pernyataan terpisah pada Jumat, ia menegaskan keinginan Rusia akan “perdamaian yang langgeng dan stabil”, meski tidak menunjukkan tanda-tanda bersedia berkompromi.
“Kami menginginkan perdamaian yang kokoh, yang menjamin keamanan baik bagi Rusia maupun Ukraina,” ujar Putin.
Pengamat keamanan menilai bahwa langkah Trump ini lebih bersifat retoris dibandingkan aksi militer nyata, mengingat AS memang telah memiliki kapal selam bertenaga nuklir yang selalu siaga di berbagai wilayah. Namun, dalam konteks geopolitik dan diplomasi global, pernyataan terbuka mengenai penempatan senjata strategis tetap dianggap sebagai bentuk eskalasi serius.
Sementara itu, proses negosiasi langsung antara Rusia dan Ukraina yang berlangsung di Istanbul pekan lalu kembali menemui jalan buntu, memperkuat pandangan bahwa perdamaian masih jauh dari kenyataan. Trump pun semakin terdesak untuk menunjukkan bahwa retorikanya dapat diikuti oleh solusi nyata.
Pernyataan dan aksi Trump ini menambah ketegangan antara dua kekuatan nuklir dunia, sekaligus mengundang sorotan terhadap implikasi keamanan global yang lebih luas, terutama jika diplomasi gagal menjadi jalan utama penyelesaian konflik.