Nusantara Voice, Moskow — Kekhawatiran besar tengah melanda elite politik Rusia menyusul meningkatnya ancaman terhadap stabilitas rezim Iran, sekutu strategis Moskow di Timur Tengah. Di tengah konferensi bertema “Kerja Sama Rusia-Iran dalam Dunia yang Berubah” yang digelar di Hotel President, tak jauh dari Kremlin, para pejabat kedua negara dihadapkan pada kenyataan pahit: Teheran kini berada di ambang krisis eksistensial.
Ketika tekanan dari Israel dan mantan Presiden AS Donald Trump semakin intens, menyerukan “penyerahan tanpa syarat” dari Iran, Moskow tampak gamang dan sadar akan keterbatasannya dalam mempengaruhi perkembangan krisis.
“Sudah lama jelas bahwa Rusia tidak akan mempertaruhkan konflik langsung dengan Amerika atau Israel demi Iran,” ungkap Nikita Smagin, analis independen Rusia-Iran. “Ini adalah kalkulasi politik dingin Rusia lebih memprioritaskan perang di Ukraina dan menjaga stabilitas hubungannya dengan Washington.”
Sumber internal Kementerian Luar Negeri Rusia menyebut bahwa Moskow kini menahan diri dari segala bentuk dukungan militer langsung terhadap Iran. “Kremlin tidak ingin memprovokasi Trump dan terus mendorong solusi diplomatik. Namun, yang menjadi fokus utama Rusia saat ini adalah menjaga agar konflik di Iran tidak merusak relasi Moskow-Washington dan memengaruhi dukungan terhadap Ukraina,” jelas sumber tersebut.
Namun, meskipun Rusia berhati-hati, potensi jatuhnya rezim Iran tetap menjadi ancaman besar bagi posisi geopolitik Moskow. “Jika Iran jatuh, ini akan menjadi kerugian strategis dan reputasional yang jauh lebih besar daripada kejatuhan Damaskus di Suriah,” lanjut sumber tersebut, merujuk pada hilangnya pengaruh Rusia di Suriah setelah keruntuhan rezim Bashar al-Assad.
Sejak invasi Rusia ke Ukraina pada 2022, Iran menjadi salah satu mitra militer terpenting Moskow, menyediakan ribuan drone tempur dan pelatih teknis untuk mendukung operasi militer Rusia. Kedua negara juga menandatangani perjanjian kemitraan strategis komprehensif pada Januari lalu, yang mencakup kerja sama militer dan intelijen. Namun, kesepakatan itu secara sengaja tidak mencantumkan klausul pertahanan bersama.