MUNA, NUSANTARAVOICE.COM – Penanganan kasus dugaan penganiayaan oleh Kepala Desa (Kades) Kasaka, Kecamatan Kabawo, Kabupaten Muna, terus menuai sorotan publik. Bukan hanya karena lambannya proses hukum, tetapi juga adanya dugaan kuat ketidakprofesionalan aparat kepolisian dalam menangani perkara ini.
Kasus bermula ketika La Ode Tele bin La Ode Saaji (52), seorang petani Desa Kasaka, melaporkan dirinya dianiaya oleh Kades pada Sabtu (20/9/2025). Di hadapan istrinya, korban dicekik, dipukul hingga jidatnya bocor, bahkan diinjak lehernya saat terjatuh. Laporan resmi pun masuk di Polsek Kabawo dengan nomor STTLP/27/IX/2025/SULTRA/RES MUNA/SPKT SEK KABAWO.
Namun, meski bukti luka fisik dan saksi mata telah ada, proses hukum berjalan sangat lamban. Anak korban, Zulkahar, mengaku harus berkali-kali mendatangi Polsek Kabawo sebelum pemeriksaan baru dilakukan pada Senin (22/9/2025) malam. Lebih janggal lagi, oknum Kades justru melapor balik dengan tuduhan bahwa korban mengancam dengan parang. Padahal menurut pengakuan korban maupun saksi, tidak pernah ada parang di lokasi kejadian.
Kecurigaan publik semakin menguat ketika penyidik Aiptu La Mponi justru menyita sebilah parang sebagai barang bukti dari laporan balik sang Kades. Langkah itu menimbulkan tanda tanya besar, karena seolah-olah kasus diarahkan menjadi perkara saling melapor, bukan murni penganiayaan.
Pegiat hukum dari Aska Law Institute, Ramnas, menilai hal ini sebagai upaya barter kasus agar Kades terlihat juga sebagai korban.
“Keluarga korban sudah melapor dengan bukti kepala berdarah-darah, tapi pelaku masih bebas berkeliaran. Sekarang malah dibuat kasus tandingan pengancaman. Ini jelas tidak masuk akal,” tegasnya.
Keanehan lain kembali muncul pada Sabtu (27/9/2025) malam. Surat undangan rekonstruksi justru diantar langsung oleh terlapor kepada saksi. Sementara sebelumnya, surat serupa diantar Kanit Reskrim La Mponi ke rumah korban. “Kenapa bukan polisi yang antar resmi ke semua pihak? Ini jelas sangat janggal,” tambah Ramnas.