Presiden Prabowo di PBB: Akui Palestina, Baru Akui Israel

Nasional119 Dilihat

JAKARTA, NUSANTARAVOICE.COM— Pidato Presiden Prabowo Subianto di hadapan Majelis Umum PBB pada 23 September 2025 menjadi sorotan publik internasional. Di tengah dunia yang kian terbelah oleh konflik geopolitik, Prabowo menegaskan posisi Indonesia sebagai bangsa yang menolak invasi, menawarkan solusi jangka panjang, dan menyuarakan keadilan bagi Palestina. Bagi banyak pengamat, langkah ini menegaskan arah baru diplomasi Indonesia yang berani, moral, dan strategis.

Dalam pidatonya, Prabowo menolak anggapan bahwa Indonesia bersikap pasif terhadap agresi Rusia di Ukraina. Ia menekankan bahwa Indonesia memiliki pengalaman sejarah sebagai bangsa yang pernah menjadi korban invasi, sehingga memahami betul penderitaan rakyat yang dijajah. Namun, Prabowo menambahkan, kecaman saja tidak cukup; dunia membutuhkan solusi yang dapat menghentikan perang, salah satunya dengan usulan zona demiliterisasi (DMZ) yang diawasi PBB.

Usulan itu bukan tanpa preseden. Prabowo mengutip pengalaman pembentukan DMZ di Semenanjung Korea, Sinai, hingga Vietnam sebagai model yang dapat dipelajari. Menurutnya, peran PBB justru terletak di titik paling mendasar: menjaga perdamaian dan menghentikan pertumpahan darah. “Untuk apa ada PBB jika tidak mampu menyelesaikan konflik?” demikian pernyataan tegasnya yang menggema di forum dunia.

Pengamat internasional menilai sikap ini sebagai penegasan moral sekaligus strategi diplomatik. “Presiden Prabowo tidak sekadar mengecam, tapi menghadirkan tawaran solusi. Ini menjadikan Indonesia aktor relevan dalam perdebatan global yang cenderung terjebak pada kutukan tanpa jalan keluar,” ujar Romadhon Jasn, Selasa (23/9) di Jakarta.

Lebih jauh, Prabowo mengaitkan isu Ukraina dengan Palestina. Ia menyatakan Indonesia siap mengakui Israel, dengan syarat Israel terlebih dahulu mengakui kedaulatan Palestina. Pernyataan itu dianggap berani karena menawarkan jalan keluar yang adil sekaligus menjaga konsistensi sikap Indonesia sebagai pendukung utama perjuangan Palestina. “Dengan mengaitkan pengakuan Israel pada kemerdekaan Palestina, Prabowo menjadikan Indonesia sebagai negara yang berani menegosiasikan keadilan, bukan hanya slogan solidaritas,” ujar Romadhon.

Langkah tersebut memiliki implikasi besar. Secara domestik, ia akan memperkuat legitimasi politik karena mayoritas rakyat Indonesia berpihak pada Palestina. Secara global, pernyataan ini menempatkan Indonesia sebagai jembatan komunikasi antara dunia Arab, Barat, dan negara-negara berkembang. “Prabowo sedang membangun kredibilitas Indonesia sebagai pemimpin Global South yang tidak hanya berbicara, tetapi berani menaruh tawaran di meja diplomasi,” terang pengamat lain dari Singapura.