Hal yang menarik dari STQH ke-28 adalah bagaimana nilai keagamaan dikemas dalam sentuhan budaya lokal. Para peserta pawai mengenakan pakaian adat, membawa maskot khas daerah, dan memperagakan yel-yel islami yang kreatif. Ini menunjukkan bahwa STQH bukan hanya milik kalangan santri dan ustaz, tetapi telah menjadi milik masyarakat luas sebagai bagian dari warisan budaya religius Sultra.

Hal ini juga menjadi kontra-narasi terhadap persepsi bahwa modernisasi membawa masyarakat menjauh dari nilai-nilai agama. Justru lewat ajang seperti STQH, terlihat bahwa agama dan budaya bisa bersatu tanpa saling menegasikan.
Sulawesi Tenggara dijadwalkan menjadi tuan rumah STQH Nasional tahun ini. Maka STQH ke-28 menjadi semacam “gladi bersih” untuk mengukur kesiapan daerah, baik dari segi teknis penyelenggaraan, kualitas peserta, hingga aspek manajerial.
Jika kegiatan ini berjalan lancar dan mendapat respons positif dari publik, maka citra Sultra sebagai provinsi religius dan ramah penyelenggaraan event keagamaan nasional akan semakin menguat.
Lebih dari sekadar lomba, STQH adalah arena untuk membangun modal sosial: memperkuat jejaring antar daerah, mempererat hubungan antar ormas keagamaan, dan menumbuhkan semangat kolektif untuk mencintai Al-Qur’an. Di tengah era digitalisasi dan disrupsi nilai, kegiatan seperti ini adalah pilar penting yang menjaga kohesi sosial dan spiritual masyarakat.
Kendari bukan hanya menjadi lokasi kegiatan tetapi simbol kebangkitan ruh Islam di tengah masyarakat Sulawesi Tenggara yang terus bergerak maju.
Komentar