Setelah Efisiensi, Defisit Anggaran Justru Membengkak

OECD, dalam laporan Economic Outlook edisi Juni 2025, memproyeksikan bahwa defisit Indonesia akan meningkat menjadi 2,8 persen dari PDB. Ini dipengaruhi oleh berbagai tekanan belanja seperti hilangnya pendapatan dari diskon listrik dan alokasi dana ke Danantara. Meski begitu, OECD menilai kebijakan fiskal Indonesia masih tergolong netral, karena sebagian besar dana belum akan terealisasi tahun ini.

Namun, para ekonom dalam negeri punya catatan serius. Josua Pardede, Kepala Ekonom Permata Bank, mengingatkan bahwa defisit yang terus meningkat bisa berdampak pada kenaikan utang, melemahnya persepsi investor, dan semakin terbatasnya ruang fiskal. Apalagi, tren suku bunga global masih tinggi, sementara daya tahan fiskal Indonesia tak bisa dibiarkan rapuh.

Dari sisi pembiayaan, Josua menilai penggunaan SAL dan penerbitan SBN saat ini masih aman. Tetapi jika tidak dibarengi dengan peningkatan penerimaan pajak dan efisiensi belanja, risiko sovereign risk akan meningkat, terutama di mata investor asing.

Lebih tajam lagi, Nailul Huda dari CELIOS menyoroti beban bunga utang yang kini menyerap sekitar 15 persen dari APBN, atau Rp 450–500 triliun. Angka ini bahkan lebih tinggi dari anggaran untuk kesehatan dan program sosial. Nailul menilai kondisi ini tidak berkelanjutan dan mendorong ketergantungan pada utang baru untuk menutup utang lama.

Baca juga:  Visioner Indonesia Dukung PLN Kembangkan Skema Ekosistem Biomassa untuk Pertanian Terpadu

Ia juga menyoroti penurunan minat investor terhadap SBN akibat tipisnya margin imbal hasil. Dengan suku bunga acuan Bank Indonesia sebesar 5,5 persen, obligasi pemerintah hanya menawarkan 6,5–7 persen. Dalam situasi global yang tidak stabil, investor cenderung beralih ke deposito, memaksa pemerintah menaikkan bunga SBN untuk menarik pembeli.

Komentar