Politik Identitas yang Eksploitatif: Narasi Usang di Era Dinamika Kebangsaan

Opini, Politik19 Dilihat

Politik identitas negara kita memiliki sejarah Panjang, masyarakat saat ini membutuhkan lebih dari sekadar janji identitas kosong. Generasi muda, yang tumbuh dalam era teknologi dan terhubung dengan dunia luar, menginginkan prinsip politik baru seperti kesetaraan, transparansi, dan kemajuan. Masa depan demokrasi yang lebih inklusif dan sehat dapat dibangun oleh generasi ini. Di sana, persatuan bangsa akan lebih penting daripada kepentingan identitas sempit.

Oleh: Akril Abdillah

Selama bertahun-tahun, politik identitas telah digunakan untuk mendapatkan dukungan dalam pemilu dengan memilih partai atau pemimpin berdasarkan latar belakang sosial, agama, atau suku. Metode ini, bagaimanapun, semakin tidak relevan di era digital dan keterbukaan informasi saat ini. Sekarang masyarakat lebih memahami informasi dan mencari pemimpin yang mewakili lebih dari sekadar identitas. 

Seringkali, politik identitas membatasi peluang kemajuan dengan membatasi perspektif masyarakat dan memisahkan mereka berdasarkan perbedaan yang dapat menjadi kekuatan bersama. Seorang pemimpin harus dipilih berdasarkan visi, kemampuan, dan integritas, bukan hanya karena siapa mereka. Negara yang kuat adalah negara yang mampu menggabungkan keragaman, di mana warganya memilih berdasarkan kinerja, rekam jejak, dan kebijakan nyata.

Selain itu, dalam dunia yang serba terhubung, kerja sama lintas identitas diperlukan untuk memerangi masalah global seperti ketahanan ekonomi, perubahan iklim, dan pembangunan inklusif. Bergantung pada politik identitas dapat menghalangi kerja sama ini. Dibutuhkan pemimpin yang dapat memikat kelompok tertentu daripada mereka yang dapat membuat masyarakat bersatu untuk mencapai tujuan yang sama. 

Agnes Heller mengatakan gerakan politik indentitas adalah gerakan politik yang berfokus pada perbedaan. Donald L. Morowitz (1998), pakar politik dari Universitas Duke, menyatakan bahwa politik identitas adalah label yang jelas untuk menentukan siapa yang akan diterima dan siapa yang akan ditolak.

Akibatnya, sebagai bagian dari masyarakat berdemokrasi yang semakin berkembang, kita harus memahami bahwa politik identitas adalah pendekatan kuno atau strategi usang yang justru menghambat kemajuan. Sudah saatnya kita memilih pemimpin yang dapat mempersatukan daripada membagi. Pemimpin yang dapat mewakili bukan hanya kelompok tertentu, tetapi juga orang-orang di seluruh bangsa untuk mencapai tujuan yang sama. 

Semakin kritisnya masyarakat dalam menangani masalah sosial dan politik juga mendukung perubahan pandangan publik ini. Masyarakat dapat secara langsung menilai dan mengawasi para pemimpin di era informasi yang mudah diakses. Karena masyarakat menginginkan pemimpin yang berani, jujur, dan bertanggung jawab, identitas tidak lagi menjadi faktor utama. Mengandalkan identitas sebagai alat politik semakin menunjukkan bahwa itu tidak efektif dalam menyelesaikan masalah bangsa yang berbeda.

Selain itu, politik identitas sering menyebabkan konflik di masyarakat, terutama selama kampanye. Narasi yang mengangkat perasaan dasar seperti agama, suku, atau budaya dapat menimbulkan kebencian dan polarisasi di masyarakat. Namun, kita membutuhkan persatuan yang kuat dan kokoh di seluruh bangsa. Dengan berfokus pada politik identitas, kita rentan tergiring pada konflik yang tidak produktif, sementara kita mengabaikan masalah penting seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan ekonomi.

Ke depan, kita membutuhkan politik kebangsaan yang lebih substansial dan berfokus pada program nyata yang bisa memperbaiki kehidupan masyarakat. Tugas para pemimpin adalah menginspirasi masyarakat untuk melihat diri mereka sebagai bagian dari bangsa yang besar, bukan hanya dari golongan atau kelompok tertentu. Dengan begitu, politik bisa menjadi medium yang membangun persatuan dan membawa bangsa ini menuju kemajuan bersama.

Meskipun politik identitas negara kita memiliki sejarah panjang, masyarakat saat ini membutuhkan lebih dari sekadar janji identitas kosong. Generasi muda, yang tumbuh dalam era teknologi dan terhubung dengan dunia luar, menginginkan prinsip politik baru seperti kesetaraan, transparansi, dan kemajuan. Masa depan demokrasi yang lebih inklusif dan sehat dapat dibangun oleh generasi ini. Di sana, persatuan bangsa akan lebih penting daripada kepentingan identitas sempit.

Sudah waktunya kita tinggalkan politik identitas yang mengerdilkan makna kebangsaan dan beralih pada politik yang benar-benar memajukan kehidupan berbangsa.

Narasi Politik Identitas di Sultra Hanya Menguntungkan Kelompok Tertentu 

Selain itu, politik identitas di Sulawesi Tenggara menghambat kemajuan dan menghilangkan rasa persatuan yang penting bagi masyarakat. Politisi yang menggunakan identitas tertentu untuk mendapatkan kekuasaan sebenarnya menanamkan konflik yang sulit dipulihkan. Untuk menghadapi tantangan bersama, warga Sultra yang beragam secara budaya dan etnis sangat membutuhkan narasi kebersamaan. Namun, politik identitas justru memperburuk keadaan dengan menimbulkan kecurigaan dan ketidakpercayaan di antara kelompok, menghancurkan peluang kerja sama yang sangat penting untuk kemajuan daerah.

Kebijakan dan keputusan yang dibuat setelah pemilihan juga menunjukkan dampak politik identitas. Pemimpin yang dipilih dengan dukungan kelompok tertentu biasanya memiliki “utang” politik yang mengikat mereka untuk mengutamakan kepentingan kelompok tersebut daripada kepentingan umum. Ini menyebabkan ketidaksetaraan dalam pembagian sumber daya, alokasi dana, dan prioritas pembangunan. Wilayah atau komunitas yang dianggap “tidak mendukung” sering kali terabaikan, meskipun mereka juga merupakan bagian dari masyarakat yang membutuhkan perhatian dan layanan publik yang layak.

Sebaliknya, lebih banyak orang di Sultra, terutama generasi muda, menyadari keterbatasan dan risiko politik identitas. Mereka tidak hanya menginginkan janji manis yang dibungkus dalam cerita identitas, tetapi mereka menginginkan perubahan yang lebih signifikan dan berfokus pada kinerja. Generasi ini menyadari bahwa kerja sama lintas identitas adalah satu-satunya cara untuk mengatasi masalah Sultra seperti pemerataan infrastruktur, kesejahteraan ekonomi, dan peningkatan akses pendidikan. Mereka membutuhkan pemimpin yang menjunjung tinggi keadilan sosial, transparansi, dan integritas daripada pemimpin yang mempertahankan kelompok tertentu sebagai bagian dari pemerintahan mereka.

Kekuasaan oligarki dan dinasti keluarga dalam sistem politik sering digunakan sebagai alat untuk mempertahankan narasi politik primordial dan identitas. Aktor politik dapat memanfaatkan rasa identitas yang kuat di masyarakat untuk mendapatkan dukungan dengan menekankan hal-hal seperti agama, etnis, atau kedaerahan. Mereka sering kali menggunakan politik identitas untuk mempengaruhi persepsi publik, mengabaikan masalah penting lainnya seperti korupsi atau ketidakadilan.

Metode ini mungkin berhasil karena perasaan dasar dapat membuat pendukung setia. Namun, pertanyaannya adalah apakah masyarakat kita masih dapat ditipu oleh cerita-cerita seperti ini. Eksploitasi masalah kedaerahan dapat memperkuat oligarki dan dinasti politik untuk mempertahankan kekuasaan mereka tanpa perlu memperbarui kebijakan atau menghasilkan perubahan nyata bagi rakyat. Akibatnya, praktik ini dapat menyebabkan politik yang tidak sehat dan mempersulit munculnya kepemimpinan baru yang lebih demokratis dan inklusif.

Oleh karena itu, sudah waktunya untuk Sulawesi Tenggara meninggalkan politik identitas yang mengeksploitasi dan beralih ke politik kebangsaan yang inklusif yang berpusat pada kesejahteraan umum. Untuk membawa Sultra ke arah kemajuan yang sebenarnya, di mana kesejahteraan dirasakan secara merata dan harmoni sosial terjaga, masyarakat harus memilih pemimpin yang melihat keragaman sebagai kekayaan, bukan sekadar alat kampanye. Sulawesi Tenggara dapat menjadi contoh bagi daerah lain dalam membangun politik yang lebih sehat, progresif, dan mengedepankan persatuan dengan meninggalkan politik identitas yang kuno. Masyarakat yang kritis dan pemimpin yang berani akan memungkinkan Sultra untuk maju, mengalihkannya dari politik eksklusif ke politik yang memberdayakan seluruh rakyat.

Politik Identitas Cara Primitif  

Dalam dunia politik kontemporer, politik identitas sering dianggap sebagai cara kuno karena mengandalkan elemen fundamental seperti suku, agama, atau etnisitas sebagai alat utama untuk mendapatkan dukungan. Memilih pemimpin atau menentukan kebijakan hanya berdasarkan kepentingan kelompok adalah cara yang sempit dan tidak efektif di zaman di mana masalah bangsa semakin kompleks dan beragam. Politik identitas adalah strategi politik yang menekankan pembelahan sosial daripada kemajuan dan polarisasi daripada persatuan.

Politik identitas sebagai dasar kampanye bertentangan dengan prinsip kemajuan. Politisi yang tidak memiliki solusi nyata untuk masalah bangsa sering menggunakan metode ini. Politik identitas justru mendorong masyarakat ke dalam sentimen yang sempit yang berisiko memecah belah, alih-alih memberikan visi dan program yang berbasis data. Pada dasarnya, politik identitas mengabaikan masalah utama seperti kesejahteraan rakyat, kemajuan pendidikan, perbaikan layanan kesehatan, dan pengentasan kemiskinan.

Karena pemimpin yang dipilih melalui politik identitas sering kali hanya memperhatikan kelompok yang mendukung mereka, pendekatan ini juga menghambat pembentukan kebijakan yang berbasis keadilan sosial. Akibatnya, banyak kepentingan masyarakat luas terabaikan, terutama kepentingan yang tidak terwakili oleh identitas yang diutamakan. Selain itu, ketidaksamaan dan ketidaksetaraan kebijakan semakin rentan, yang menghambat pembangunan kesejahteraan yang merata dan berkelanjutan. 

Sebaliknya, politik identitas menunjukkan bahwa beberapa politisi belum siap untuk membangun negara dalam konteks yang lebih luas. Metode ini lebih mencerminkan cara berpikir dan nilai-nilai di masa lalu, ketika identitas menjadi penanda utama dalam kehidupan sosial. Namun, di era globalisasi saat ini, yang semakin menekankan kompetensi dan kolaborasi lintas identitas, metode ini tidak hanya usang tetapi juga merugikan.

Politik identitas seharusnya dianggap kuno oleh masyarakat demokrasi yang matang. Pemimpin yang layak dipilih adalah mereka yang dapat memecahkan masalah nyata dan membawa bangsa menuju masa depan yang lebih baik, bukan mereka yang hanya mengandalkan identitas untuk mendapatkan dukungan. Sebaliknya, kita membutuhkan politik yang berbasis kinerja dan rekam jejak. 

Mengakhiri politik identitas adalah langkah penting menuju politik yang lebih baik, dewasa, dan beradab. Dengan menghindari metode kuno yang dapat memecah belah, kita dapat berkonsentrasi pada politik yang memajukan, politik yang menghargai perbedaan tanpa menggunakannya sebagai alat untuk memecah belah, dan politik yang benar-benar bekerja untuk kepentingan umum.

Mengakhiri Isu Politik Identitas 

Untuk menyelesaikan masalah politik identitas, seluruh masyarakat harus bertindak, mulai dari pemimpin, organisasi masyarakat, hingga individu warga. Selama bertahun-tahun, politik identitas telah merusak solidaritas sosial dan menghambat potensi kemajuan bangsa. Saatnya semua orang menyadari betapa pentingnya membangun narasi kebangsaan yang lebih inklusif yang menekankan persatuan di tengah keberagaman sebagai kekuatan bangsa. Pemerintah dan partai politik bertanggung jawab atas upaya ini. Mereka harus berkomitmen untuk menghindari menggunakan politik identitas sebagai alat kampanye. 

Sebaliknya, kampanye harus berkonsentrasi pada masalah konkret yang dihadapi masyarakat, seperti peningkatan akses ke pendidikan, perbaikan kesehatan, dan pembangunan infrastruktur. Untuk membuat masyarakat percaya bahwa kepentingan mereka didahulukan daripada kepentingan golongan tertentu, pengambilan keputusan harus transparan dan terbuka.

Di sisi lain, lembaga pendidikan dan media massa juga bertanggung jawab untuk mengajarkan masyarakat untuk menjadi lebih kritis saat memilih pemimpin. Untuk mencegah kecenderungan masyarakat untuk mendukung kandidat hanya berdasarkan identitas, pendidikan politik harus difokuskan pada prinsip-prinsip kebangsaan dan etika publik. Media harus tetap jujur saat meliput konflik politik; mendorong pemberitaan yang objektif dan bebas dari bias identitas; dan menghindari cerita yang dapat memecah belah masyarakat.

Peran masyarakat juga sangat penting. Masyarakat harus bijak dan kritis saat memilih pemimpin berdasarkan prestasi dan visi mereka, bukan identitas. Pemimpin tidak boleh dipilih berdasarkan suku, agama, atau latar belakang. Selain itu, komunitas yang menyadari risiko politik identitas harus terlibat dalam percakapan publik, menekankan pentingnya kesetaraan dan persatuan, dan mendorong anggota komunitas mereka untuk melihat politik sebagai alat untuk kemajuan bersama.

Mungkin membutuhkan waktu untuk menyelesaikan masalah politik identitas, tetapi perubahan besar bisa dimulai dari kesadaran dan keinginan kita untuk berubah. Dengan menumbuhkan budaya politik yang sehat, inklusif, dan berbasis kinerja dan rekam jejak, kita tidak hanya membangun demokrasi yang lebih kokoh tetapi juga memperkuat persatuan bangsa. Inilah pondasi yang dibutuhkan untuk mencapai cita-cita bersama: membangun bangsa yang adil, maju, dan sejahtera untuk semua orang.

Lebih jauh, mengakhiri politik identitas juga berarti membangun ruang politik yang lebih etis dan beradab. Dalam sistem politik yang ideal, pemimpin dipilih bukan karena atribut personal mereka, tetapi karena kualitas, kompetensi, dan visi yang mereka tawarkan untuk kemajuan bersama. Ini akan mengarahkan energi politik ke arah yang lebih konstruktif, mendorong para calon pemimpin untuk berlomba-lomba memberikan solusi nyata yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, daripada menggunakan taktik yang bersifat memecah belah.

Untuk menangani politik identitas, juga diperlukan tindakan pencegahan yang lebih baik, salah satunya adalah memperkuat undang-undang kampanye. Jika ada peraturan yang ketat dan jelas, penggunaan narasi berbasis identitas dalam kampanye politik akan dibatasi. Lembaga pengawas seperti Bawaslu harus bertindak lebih tegas terhadap praktik politik identitas yang melanggar demokrasi. Ini akan menyampaikan pesan yang kuat kepada para politisi bahwa memanfaatkan masalah identitas untuk kepentingan politik bukan hanya tidak etis, tetapi juga melanggar hukum.

Di era digitalisasi, platform media sosial sangat penting. Dunia maya sering kali menjadi tempat yang ideal untuk menyebarkan masalah identitas politik melalui berita bohong dan ujaran kebencian. Untuk itu, pemerintah, perusahaan teknologi, dan masyarakat harus bekerja sama untuk membatasi penyebaran konten yang mengadu domba. Media sosial harus diatur dengan hati-hati agar tidak menjadi platform propaganda identitas yang dapat merusak masyarakat. 

Agenda bersama untuk mengakhiri politik identitas juga harus ada. Ini tidak dapat dicapai dalam satu atau dua siklus pemilu; itu harus menjadi fondasi permanen dari demokrasi kita. Jika masyarakat, media, pemerintah, dan seluruh elemen bangsa bersatu untuk menolak politik identitas, kita akan dapat membangun budaya politik yang lebih dewasa, dewasa, dan bermartabat.

Pada akhirnya, mengakhiri politik identitas adalah upaya untuk menciptakan demokrasi yang berfokus pada hal-hal fundamental: kesejahteraan, keadilan sosial, dan kemajuan yang berkelanjutan. Dengan demikian, kita tidak hanya membangun politik yang sehat, tetapi juga membangun bangsa yang kuat, di mana setiap warga merasa diakui, dihargai, dan diperlakukan setara tanpa memandang identitas mereka. Inilah masa depan yang layak diperjuangkan bersama, demi Indonesia yang lebih adil, bersatu, dan sejahtera.

Komentar