Politik identitas negara kita memiliki sejarah Panjang, masyarakat saat ini membutuhkan lebih dari sekadar janji identitas kosong. Generasi muda, yang tumbuh dalam era teknologi dan terhubung dengan dunia luar, menginginkan prinsip politik baru seperti kesetaraan, transparansi, dan kemajuan. Masa depan demokrasi yang lebih inklusif dan sehat dapat dibangun oleh generasi ini. Di sana, persatuan bangsa akan lebih penting daripada kepentingan identitas sempit.
Oleh: Akril Abdillah
Selama bertahun-tahun, politik identitas telah digunakan untuk mendapatkan dukungan dalam pemilu dengan memilih partai atau pemimpin berdasarkan latar belakang sosial, agama, atau suku. Metode ini, bagaimanapun, semakin tidak relevan di era digital dan keterbukaan informasi saat ini. Sekarang masyarakat lebih memahami informasi dan mencari pemimpin yang mewakili lebih dari sekadar identitas.
Seringkali, politik identitas membatasi peluang kemajuan dengan membatasi perspektif masyarakat dan memisahkan mereka berdasarkan perbedaan yang dapat menjadi kekuatan bersama. Seorang pemimpin harus dipilih berdasarkan visi, kemampuan, dan integritas, bukan hanya karena siapa mereka. Negara yang kuat adalah negara yang mampu menggabungkan keragaman, di mana warganya memilih berdasarkan kinerja, rekam jejak, dan kebijakan nyata.
Selain itu, dalam dunia yang serba terhubung, kerja sama lintas identitas diperlukan untuk memerangi masalah global seperti ketahanan ekonomi, perubahan iklim, dan pembangunan inklusif. Bergantung pada politik identitas dapat menghalangi kerja sama ini. Dibutuhkan pemimpin yang dapat memikat kelompok tertentu daripada mereka yang dapat membuat masyarakat bersatu untuk mencapai tujuan yang sama.
Agnes Heller mengatakan gerakan politik indentitas adalah gerakan politik yang berfokus pada perbedaan. Donald L. Morowitz (1998), pakar politik dari Universitas Duke, menyatakan bahwa politik identitas adalah label yang jelas untuk menentukan siapa yang akan diterima dan siapa yang akan ditolak.
Akibatnya, sebagai bagian dari masyarakat berdemokrasi yang semakin berkembang, kita harus memahami bahwa politik identitas adalah pendekatan kuno atau strategi usang yang justru menghambat kemajuan. Sudah saatnya kita memilih pemimpin yang dapat mempersatukan daripada membagi. Pemimpin yang dapat mewakili bukan hanya kelompok tertentu, tetapi juga orang-orang di seluruh bangsa untuk mencapai tujuan yang sama.
Semakin kritisnya masyarakat dalam menangani masalah sosial dan politik juga mendukung perubahan pandangan publik ini. Masyarakat dapat secara langsung menilai dan mengawasi para pemimpin di era informasi yang mudah diakses. Karena masyarakat menginginkan pemimpin yang berani, jujur, dan bertanggung jawab, identitas tidak lagi menjadi faktor utama. Mengandalkan identitas sebagai alat politik semakin menunjukkan bahwa itu tidak efektif dalam menyelesaikan masalah bangsa yang berbeda.
Selain itu, politik identitas sering menyebabkan konflik di masyarakat, terutama selama kampanye. Narasi yang mengangkat perasaan dasar seperti agama, suku, atau budaya dapat menimbulkan kebencian dan polarisasi di masyarakat. Namun, kita membutuhkan persatuan yang kuat dan kokoh di seluruh bangsa. Dengan berfokus pada politik identitas, kita rentan tergiring pada konflik yang tidak produktif, sementara kita mengabaikan masalah penting seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan ekonomi.
Ke depan, kita membutuhkan politik kebangsaan yang lebih substansial dan berfokus pada program nyata yang bisa memperbaiki kehidupan masyarakat. Tugas para pemimpin adalah menginspirasi masyarakat untuk melihat diri mereka sebagai bagian dari bangsa yang besar, bukan hanya dari golongan atau kelompok tertentu. Dengan begitu, politik bisa menjadi medium yang membangun persatuan dan membawa bangsa ini menuju kemajuan bersama.
Meskipun politik identitas negara kita memiliki sejarah panjang, masyarakat saat ini membutuhkan lebih dari sekadar janji identitas kosong. Generasi muda, yang tumbuh dalam era teknologi dan terhubung dengan dunia luar, menginginkan prinsip politik baru seperti kesetaraan, transparansi, dan kemajuan. Masa depan demokrasi yang lebih inklusif dan sehat dapat dibangun oleh generasi ini. Di sana, persatuan bangsa akan lebih penting daripada kepentingan identitas sempit.
Sudah waktunya kita tinggalkan politik identitas yang mengerdilkan makna kebangsaan dan beralih pada politik yang benar-benar memajukan kehidupan berbangsa.
Narasi Politik Identitas di Sultra Hanya Menguntungkan Kelompok Tertentu
Selain itu, politik identitas di Sulawesi Tenggara menghambat kemajuan dan menghilangkan rasa persatuan yang penting bagi masyarakat. Politisi yang menggunakan identitas tertentu untuk mendapatkan kekuasaan sebenarnya menanamkan konflik yang sulit dipulihkan. Untuk menghadapi tantangan bersama, warga Sultra yang beragam secara budaya dan etnis sangat membutuhkan narasi kebersamaan. Namun, politik identitas justru memperburuk keadaan dengan menimbulkan kecurigaan dan ketidakpercayaan di antara kelompok, menghancurkan peluang kerja sama yang sangat penting untuk kemajuan daerah.
Kebijakan dan keputusan yang dibuat setelah pemilihan juga menunjukkan dampak politik identitas. Pemimpin yang dipilih dengan dukungan kelompok tertentu biasanya memiliki “utang” politik yang mengikat mereka untuk mengutamakan kepentingan kelompok tersebut daripada kepentingan umum. Ini menyebabkan ketidaksetaraan dalam pembagian sumber daya, alokasi dana, dan prioritas pembangunan. Wilayah atau komunitas yang dianggap “tidak mendukung” sering kali terabaikan, meskipun mereka juga merupakan bagian dari masyarakat yang membutuhkan perhatian dan layanan publik yang layak.
Sebaliknya, lebih banyak orang di Sultra, terutama generasi muda, menyadari keterbatasan dan risiko politik identitas. Mereka tidak hanya menginginkan janji manis yang dibungkus dalam cerita identitas, tetapi mereka menginginkan perubahan yang lebih signifikan dan berfokus pada kinerja. Generasi ini menyadari bahwa kerja sama lintas identitas adalah satu-satunya cara untuk mengatasi masalah Sultra seperti pemerataan infrastruktur, kesejahteraan ekonomi, dan peningkatan akses pendidikan. Mereka membutuhkan pemimpin yang menjunjung tinggi keadilan sosial, transparansi, dan integritas daripada pemimpin yang mempertahankan kelompok tertentu sebagai bagian dari pemerintahan mereka.
Kekuasaan oligarki dan dinasti keluarga dalam sistem politik sering digunakan sebagai alat untuk mempertahankan narasi politik primordial dan identitas. Aktor politik dapat memanfaatkan rasa identitas yang kuat di masyarakat untuk mendapatkan dukungan dengan menekankan hal-hal seperti agama, etnis, atau kedaerahan. Mereka sering kali menggunakan politik identitas untuk mempengaruhi persepsi publik, mengabaikan masalah penting lainnya seperti korupsi atau ketidakadilan.
Metode ini mungkin berhasil karena perasaan dasar dapat membuat pendukung setia. Namun, pertanyaannya adalah apakah masyarakat kita masih dapat ditipu oleh cerita-cerita seperti ini. Eksploitasi masalah kedaerahan dapat memperkuat oligarki dan dinasti politik untuk mempertahankan kekuasaan mereka tanpa perlu memperbarui kebijakan atau menghasilkan perubahan nyata bagi rakyat. Akibatnya, praktik ini dapat menyebabkan politik yang tidak sehat dan mempersulit munculnya kepemimpinan baru yang lebih demokratis dan inklusif.
Oleh karena itu, sudah waktunya untuk Sulawesi Tenggara meninggalkan politik identitas yang mengeksploitasi dan beralih ke politik kebangsaan yang inklusif yang berpusat pada kesejahteraan umum. Untuk membawa Sultra ke arah kemajuan yang sebenarnya, di mana kesejahteraan dirasakan secara merata dan harmoni sosial terjaga, masyarakat harus memilih pemimpin yang melihat keragaman sebagai kekayaan, bukan sekadar alat kampanye. Sulawesi Tenggara dapat menjadi contoh bagi daerah lain dalam membangun politik yang lebih sehat, progresif, dan mengedepankan persatuan dengan meninggalkan politik identitas yang kuno. Masyarakat yang kritis dan pemimpin yang berani akan memungkinkan Sultra untuk maju, mengalihkannya dari politik eksklusif ke politik yang memberdayakan seluruh rakyat.
Komentar