Menurut Siska, dana makan-minum, operasional, rumah jabatan, kesehatan, hingga BBM adalah bagian dari fasilitas negara yang diberikan kepada wali kota dan wakil wali kota selama masa jabatan.
“Semua itu adalah hak yang diatur dan dibiayai negara. Tidak ada pengambilan tanpa dasar,” tegasnya.
Kuasa hukum Nahwa Umar meminta majelis hakim agar menghadirkan langsung Siska Karina Imran dalam sidang berikutnya untuk dikonfrontasi dengan keterangan saksi Asnita Malaka. Namun hingga berita ini diturunkan, Wali Kota Kendari belum memberikan tanggapan atas permintaan konfrontasi tersebut.
Nama Siska Karina mencuat di tengah proses hukum terhadap tiga pejabat Pemkot Kendari yang menjadi terdakwa dalam kasus ini, yaitu mantan Sekda Nahwa Umar, bendahara pengeluaran Ariyuli Ningsih Lindoeno, dan pembantu bendahara Muchlis. Ketiganya didakwa melakukan penggelapan dan membuat laporan pertanggungjawaban fiktif dari lima pos anggaran senilai total Rp 444 juta.
Kasus ini mencuat setelah penyelidikan yang dilakukan Kejaksaan Negeri Kendari sejak 2024, berdasarkan laporan masyarakat dan audit BPKP. Ketiga terdakwa terancam hukuman maksimal 20 tahun penjara berdasarkan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Meski belum ditetapkan sebagai tersangka, kemunculan nama Wali Kota Kendari dalam fakta persidangan memicu reaksi publik. Sejumlah aktivis dan elemen masyarakat sipil mulai mendorong Kejari Kendari dan majelis hakim untuk memperluas pemeriksaan terhadap pihak-pihak yang disebut menerima atau mengarahkan dana tersebut.
Polemik ini menambah daftar panjang masalah tata kelola keuangan di lingkup Pemkot Kendari, terlebih mengingat posisi Siska sebagai istri mantan Wali Kota Adriatma Dwi Putra, yang sebelumnya juga tersandung kasus korupsi hingga ditangkap oleh KPK.
Komentar