NUSANTARA VOICE, JAKARTA- Polemik tunjangan kinerja (Tukin) dosen Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) memasuki babak baru. Aliansi Dosen ASN Kemdiktisaintek Seluruh Indonesia (ADAKSI) menuntut kejelasan pemerintah dalam pencairan Tukin yang telah lama dinanti. Namun, pendekatan kedua pihak menunjukkan perbedaan strategi dalam memperjuangkan hak dosen.
Adaksi: Gugatan PTUN dan Ancaman Mogok Mengajar
Adaksi, melalui Koordinatornya Anggun Gunawan, mempertimbangkan langkah hukum berupa gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) jika Kemendiktisaintek tidak segera memberikan kejelasan soal Tukin. Bahkan, ancaman mogok mengajar menjadi salah satu opsi yang tengah dipertimbangkan.
Anggun mengungkapkan bahwa hampir lima tahun sejak aturan pencairan Tukin diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 49 Tahun 2020, implementasi di lapangan masih tidak jelas. Ia menyoroti ketidakadilan karena hanya dosen Kemendiktisaintek yang belum menerima Tukin, meski aturan telah diteken dalam Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 447/P/2024.
“Kami akan mengkaji semua opsi, termasuk langkah hukum, jika hingga akhir Januari 2025 tidak ada kejelasan,” tegasnya.
Adaksi juga menuntut Kemendiktisaintek segera merevisi anggaran kementerian senilai Rp 57 triliun pada 2025 untuk memasukkan pos pembayaran Tukin dosen.
ADAKSI: Dukungan pada Perpres Baru
Berbeda dengan Adaksi, ADAKSI mengambil langkah mendukung penuh rancangan Peraturan Presiden (Perpres) baru terkait pencairan Tukin. Ketua ADAKSI menegaskan bahwa Perpres ini harus menghapus klausul pengecualian yang selama ini menghambat pemberian Tukin, khususnya untuk dosen di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) berstatus Badan Layanan Umum (BLU) dan Badan Hukum (BH).
ADAKSI mengajukan beberapa poin utama dalam mendukung Perpres ini:
1. Kesenjangan Remunerasi: Banyak PTN BLU dan BH menghadapi kesenjangan besar dalam pemberian remunerasi.