NUSANTARA VOICE, JAKARTA— Ketua GPII Rizal Rudiansyah melontarkan kritik tajam terhadap harga Avtur di Bandara Internasional Soekarno-Hatta yang dinilai terlalu tinggi jika dibandingkan dengan bandara-bandara di negara tetangga. Rizal menyoroti perbedaan harga Avtur yang mencolok, menyebut perlunya langkah yang lebih transparan dan efisien dari Pertamina dalam menjelaskan dan mengelola harga bahan bakar tersebut.
“Kalau kita bandingkan harga Avtur di Soekarno-Hatta dengan bandara di negara tetangga, jelas terlihat ada kesenjangan yang signifikan. Ini tentu jadi pertanyaan besar, mengapa harga Avtur di Indonesia lebih mahal,” ujar Rizal, Minggu, kepada Awak Media (15/9/2024).
Sebagai informasi, harga Avtur di Bandara Soekarno-Hatta mencapai Rp 13.211 per liter. Sementara itu, di Changi, Singapura, harga Avtur tercatat sebesar SGD 0,85 per liter atau sekitar Rp 10.053. Di Bandara Suvarnabhumi, Bangkok, harganya sebesar THB 16,50 per liter atau setara dengan Rp 7.522. Bandara Ninoy Aquino, Manila, mencatat harga US$ 0,547 per liter atau sekitar Rp 8.457. Di KLIA Sepang, Malaysia, harga Avtur mencapai RM 2,15 per liter atau sekitar Rp 7.607.
Menurut Rizal, harga yang jauh lebih rendah di negara-negara tetangga tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai efisiensi dan kebijakan yang diterapkan oleh Pertamina.
“Kenapa bisa di negara tetangga harganya jauh lebih rendah? Apakah distribusi, pajak, atau ada faktor lain yang memengaruhi harga di Indonesia?” katanya.
Rizal menekankan bahwa Pertamina perlu lebih terbuka dan transparan dalam menjelaskan komponen harga Avtur. Menurutnya, masyarakat dan pelaku usaha berhak mengetahui faktor-faktor apa saja yang membuat harga Avtur di Indonesia lebih mahal dibandingkan negara lain. “Kami menerima aduan pelaku usaha, khususnya di sektor penerbangan, tentu merasakan dampak langsung dari harga Avtur yang tinggi ini. Hal ini bisa memengaruhi harga tiket pesawat dan daya saing industri penerbangan nasional,” tambah Rizal.
Rizal menyarankan agar Pertamina mempublikasikan komponen harga secara lebih terbuka. Hal ini dapat mencakup biaya operasional, distribusi, pajak, hingga faktor eksternal lain yang memengaruhi penetapan harga. Dengan transparansi ini, masyarakat bisa lebih memahami apakah harga yang diterapkan sudah rasional atau masih ada ruang untuk perbaikan.
Komentar