Indonesia memiliki banyak sumber daya, tetapi 90 persen obat-obatan kita masih impor. Ini salah satu faktor yang menyebabkan harga obat kita mahal
NUSANTARA VOICE, JAKARTA— Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di bawah kepemimpinan dr. Taruna Ikrar, M.Biomed., MD., Ph.D. menghadapi tantangan besar terkait tingginya harga obat di Indonesia. Dalam wawancara eksklusif, Prof. Taruna menjelaskan bahwa beberapa obat esensial seperti insulin dan obat antiinflamasi di Indonesia harganya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan India.
“Bahkan bisa mencapai 700 persen lebih mahal dibanding harga di India,” ungkapnya.
Menurut Taruna, salah satu prioritas utama BPOM ke depan adalah menurunkan harga obat. Hal itu mendorong BPOM untuk mencari solusi agar harga obat-obatan esensial bisa lebih terjangkau, terutama melalui peningkatan produksi dalam negeri dan perbaikan regulasi.
Selain masalah harga, Taruna juga menyoroti keterlambatan dalam mendatangkan obat-obat inovatif ke Indonesia. Banyak obat yang sudah dipasarkan di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, namun masih belum tersedia di Indonesia. Beberapa obat untuk kanker dan penyakit degeneratif lainnya bahkan sudah diproduksi selama lebih dari lima tahun di luar negeri, tetapi belum masuk ke pasar Indonesia.
Taruna menegaskan bahwa BPOM perlu meningkatkan produksi obat dalam negeri agar tidak terlalu bergantung pada impor.
“Indonesia memiliki banyak sumber daya, tetapi 90 persen obat-obatan kita masih impor. Ini salah satu faktor yang menyebabkan harga obat kita mahal,” jelasnya. Hal ini menjadi tantangan besar yang harus segera diatasi.
Di sisi lain, BPOM juga berencana melakukan percepatan dalam proses registrasi obat dan makanan. Saat ini, proses tersebut bisa memakan waktu hingga 300 hari kerja.
“Kami berupaya memangkas waktu ini menjadi 120 hari atau bahkan 90 hari,” ujar Taruna. Langkah ini akan mendukung ketersediaan obat-obat inovatif yang lebih cepat di pasar Indonesia.
Salah satu upaya untuk mempercepat ketersediaan obat inovatif adalah dengan mengadopsi hasil uji klinis yang sudah dilakukan di luar negeri. “Jika obat tersebut sudah melalui uji klinis tahap tiga di negara asal, tidak perlu lagi diuji di sini. Kami bisa langsung memberikan izin edar,” lanjutnya.
Selain itu, Taruna juga menekankan pentingnya digitalisasi dalam proses perizinan. Sistem manual yang selama ini digunakan akan digantikan dengan sistem digital untuk mempercepat layanan. “Kami ingin memastikan bahwa perusahaan farmasi dan makanan bisa mendapatkan izin lebih cepat tanpa mengurangi kualitas pengawasan,” tambahnya.
Langkah-langkah ini akan membawa dampak besar bagi industri farmasi dan makanan di Indonesia. Tidak hanya mempercepat waktu perizinan, tetapi juga memotong biaya yang selama ini membebani industri. Dengan demikian, produk-produk obat dan makanan bisa lebih cepat masuk pasar dan tersedia bagi masyarakat.
Taruna optimis bahwa dengan kerja sama yang baik antara BPOM dan industri, perubahan-perubahan ini bisa segera terwujud. “Kami terus berkomunikasi dengan pihak industri agar kebijakan ini bisa menguntungkan semua pihak,” tegasnya.
Dengan peningkatan produksi obat dalam negeri dan percepatan regulasi, diharapkan harga obat di Indonesia bisa lebih kompetitif di masa mendatang.