Sarjana-Sarjana di Selokan: Potret Perjuangan di Balik Romantisme Ijazah

Berita, DKI Jakarta2421 Dilihat

Jakarta— Di sebuah selokan sempit yang mengalir di Karet Tengsin, Jakarta Pusat, sepatu boot dan segenggam tekad menjadi bekal seorang ibu bernama Musarotun (29) untuk menyusuri lumpur dan sampah. Bukan adegan film. Bukan pula program reality show. Ini kenyataan yang disambutnya dengan senyum, walau getir kehidupan menggantung di ujung pandangannya.

Musarotun adalah sarjana akuntansi. Tapi hari itu, gelar itu tak lebih dari selembar kertas yang terlipat rapi di dalam lemari. Ijazah tak bisa menukar beras. Gelar tak selalu berujung pada pekerjaan. Maka saat pemerintah membuka lowongan untuk petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU), ia tak menunggu lama. Ia datang. Ia mencemplungkan diri, harfiah dan batiniah, ke dalam aliran lumpur yang dinamai realitas.

“Alhamdulillah, seru. Nyebur ke selokan juga enggak jijik,” katanya sambil tertawa ringan, seolah menyeka lelah dengan keberanian. Ia sadar, dari ratusan pelamar, hanya enam orang yang akan diterima. Tapi sebagai ibu dua anak, ia tahu: yang terberat bukan nyebur ke got, melainkan bertahan di tengah mahalnya hidup.

Di kelurahan lain, cerita serupa berulang. Nabila (27) dan Febrina Nuranisa (32), dua sarjana akuntansi dari Kemayoran, juga ikut antre mengikuti seleksi PPSU. Meninggalkan lamunan tentang pekerjaan kantoran dan AC yang dingin, demi peluang yang lebih pasti sekadar menjaga dapur tetap hangat.

Baca juga:  Honorer R4 Diminta Siapkan Berkas, Seleksi Lanjutan PPPK Direncanakan Juli 2025

“Sudah biasa beberes rumah. Sekarang ini kan memang susah cari kerja. Ada peluang, ambil aja dulu,” ujar mereka lugas.

Menurut Sekretaris Lurah Serdang, M. Imron Sumadi, dari 127 pelamar, tujuh di antaranya bergelar sarjana. Mereka bersaing bukan dengan soal IPK, melainkan kemauan membersihkan jalan, mencangkul, dan menjaga lingkungan.

Komentar