Oleh: Andis Fathan SyahputraKetua Umum HMI Komisariat Teknik Sultan Agung Cabang Semarang
Kota Semarang kembali dilanda banjir yang mengakibatkan beberapa wilayah tergenang, di antaranya Muktiharjo Kidul, Perumahan Tlogosari Kulon Kecamatan Pedurungan, Jalan Kaligawe Raya ke Timur, dan Kecamatan Genuk. Banjir merendam kawasan tersebut hingga mencapai ketinggian 85 cm. Kejadian ini terus berulang dalam beberapa tahun terakhir, sehingga menjadikan bencana banjir di Semarang sebagai tragedi tahunan yang belum terselesaikan.
Banjir yang terus terjadi di Kota Semarang menunjukkan adanya permasalahan dalam proses penataan kota. Ketidakseimbangan dalam pengelolaan tata ruang menyebabkan daya resiliensi kota semakin menurun. Padahal, sebagai ibu kota Provinsi Jawa Tengah, Semarang memiliki peran yang sangat vital.
Dengan populasi Jawa Tengah yang mencapai 38,13 juta jiwa, kota ini harus mampu menyediakan lingkungan yang layak, baik dari sisi daya dukung maupun daya tampung ruang, agar pelayanan terhadap aktivitas masyarakat dapat berjalan secara efektif dan efisien.
Kajian mengenai penyebab banjir di Semarang dan kawasan pesisir Pantai Utara Jawa (Pantura) sebenarnya telah banyak dilakukan.
Salah satunya adalah kajian dari Koalisi Maleh Dadi Segoro (MDS), yang tidak hanya mengungkap fakta-fakta menarik di balik penyebab banjir, tetapi juga membantah pernyataan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, pada 6 Februari 2021, yang diikuti oleh Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono, pada 8 Februari 2021. Dalam pernyataan tersebut, banjir diklaim hanya disebabkan oleh curah hujan yang tinggi dan pompa air yang tidak berfungsi atau kurang kapasitasnya.
Hasil kajian MDS menunjukkan bahwa penyebab banjir di Semarang dan kawasan Pantura lebih kompleks, melibatkan krisis sosial dan ekologis. Salah satu faktor utama adalah eksploitasi air tanah yang berlebihan. Data menunjukkan bahwa terdapat delapan kawasan industri di Semarang yang menggunakan air tanah sebagai sumber utama. Tujuh kawasan menggunakan sumur bor, sementara satu kawasan menggunakan sumur gali.
Berdasarkan penelitian Valentino D. (2013), penggunaan air di kawasan industri tersebut mencapai 543,47 liter per detik, atau sekitar 18,8% dari total sumber air PDAM Tirta Moedal yang berasal dari air tanah. Penggunaan air tanah yang masif ini menyebabkan amblesan tanah atau penurunan tanah (land subsidence) sekitar 11 cm per tahun. Sementara itu, curah hujan yang tinggi menyebabkan debit air sungai meningkat melebihi ambang batas normal, sehingga air meluap ke wilayah yang lebih rendah, termasuk pemukiman, daerah pesisir, dan kawasan sekitar sungai. Hal ini tidak hanya memicu banjir tetapi juga mempercepat abrasi pantai.
Konsekuensi dari permasalahan ini adalah meningkatnya frekuensi bencana banjir di Semarang dan kawasan Pantura, yang kini tidak hanya terjadi sekali, tetapi bisa dua hingga tiga kali dalam setahun. Banjir yang terus berulang seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah untuk segera bertindak. Sayangnya, data dari KPK menunjukkan bahwa sekitar 70% kepala daerah mendapatkan dukungan dari korporasi yang bergerak di sektor sumber daya alam. Hal ini menciptakan relasi yang erat antara pemerintah, legislatif, yudikatif, serta elit bisnis, sehingga kebijakan yang diambil sering kali lebih berpihak kepada kepentingan korporasi dibandingkan masyarakat. Pemerintah cenderung menyederhanakan permasalahan banjir sebagai persoalan teknis semata, tanpa mengungkap bagaimana sistem ekonomi kapitalis turut berkontribusi dalam memperburuk situasi.
Salah satu solusi yang diusulkan pemerintah untuk mengatasi banjir rob di pesisir Semarang-Demak adalah pembangunan infrastruktur Tol Tanggul Laut Semarang-Demak (TTLSD). Namun, proyek ini justru menimbulkan permasalahan baru. Warga yang tinggal di sekitar lokasi proyek menjadi semakin rentan terhadap banjir akibat beban konstruksi serta peningkatan aktivitas kendaraan di atasnya. Selain itu, proyek ini lebih menguntungkan segelintir pemilik modal dan kontraktor. Kasus korupsi yang melibatkan Wanita Emas dalam proyek TTLSD, yang menyebabkan kerugian negara hingga 2,5 triliun rupiah, menjadi salah satu bukti bagaimana proyek ini lebih banyak menguntungkan pihak tertentu. Keuntungan utama dari proyek ini jatuh ke tangan perusahaan pemegang proyek seperti PT PP serta pemasok material konstruksi.
Komentar