Kita perlu menyadari bahwa di era digital ini, isu bisa menyebar lebih cepat daripada kebenaran. Karena itu, tanggung jawab moral masyarakat, aktivis, akademisi, dan media adalah menjadi penyaring informasi, bukan penyebar sensasi. Menyampaikan kritik adalah hal yang mulia, tetapi kritik yang sehat harus lahir dari data yang terukur, argumentasi yang rasional, dan niat tulus untuk memperbaiki.
Sebaliknya, membangun narasi ilusi atau “asa halu” terhadap figur tertentu termasuk kepada Wakil Gubernur hanya akan menimbulkan gesekan emosional dan mengikis kepercayaan publik terhadap kesatuan kepemimpinan daerah. Padahal, kekuatan kepemimpinan kolektif adalah fondasi penting dalam menggerakkan roda pembangunan.
Mari kita hentikan budaya “politik rumor” yang justru melemahkan kepercayaan publik. Sulawesi Tenggara tidak membutuhkan perpecahan, tetapi membutuhkan soliditas, kolaborasi, dan kepercayaan antar-elit dan masyarakatnya. Kritik boleh, bahkan harus, tetapi harus berbasis data, logika, dan tanggung jawab intelektual.
Sudah saatnya seluruh elemen masyarakat mengubah arah energi publik dari menyebar isu negatif menjadi membangun gagasan positif dan solusi nyata. Kita semua memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga wibawa pemerintahan dan kehormatan daerah. Sebab, di tengah tantangan ekonomi dan sosial yang kompleks, yang dibutuhkan bukanlah perpecahan, melainkan kebersamaan untuk melangkah maju.
Gubernur dan Wakil Gubernur adalah representasi rakyat yang sedang berjuang menjalankan amanah. Beri mereka ruang untuk bekerja, bukan dirundung oleh spekulasi. Karena pada akhirnya, yang akan diukur oleh sejarah bukanlah siapa yang menyebar isu, tetapi siapa yang bekerja nyata untuk rakyatnya.
Oleh: Akril Abdillah || Visioner Indonesia







Komentar