Hasilnya, menurutnya, mulai terlihat: ratusan titik tambang bermasalah ditindak, puluhan izin ditinjau ulang, sebagian lahan dikembalikan ke negara, dan praktik reklamasi mulai dijalankan. Dampak ekonominya juga terasa pengurangan kebocoran penerimaan negara, peningkatan kepatuhan perusahaan, serta penyerapan tenaga kerja di proyek-proyek legal. “Ini menata ulang keseimbangan: pembangunan tidak lagi mengorbankan lingkungan dan masyarakat lokal,” katanya.
Namun, kata dia, semua capaian itu riskan terkubur oleh pola serangan personal yang menempatkan identitas asal-usul dan warna kulit sebagai kambing hitam. Azhar memperingatkan, ketika politik dipenuhi rasisme, diskursus kebijakan menjadi tak lagi substantif. “Kita boleh berbeda pendapat tentang kebijakan, tapi menyerang identitas seseorang meruntuhkan kualitas demokrasi,” tegasnya.
Menariknya, menurut Azhar, Bahlil memilih merespons hinaan itu dengan jalan damai: mencabut laporan hukum terhadap pelaku. Sikap itu, lanjut Azhar, bukan tanda kelemahan melainkan bentuk kepemimpinan yang matang. “Beliau memilih memaafkan, bukan membalas. Itu cerminan kelas moral seorang pemimpin,” ujarnya lagi.
Azhar juga menekankan satu pesan sederhana namun tegas: kerja adalah jawaban paling efektif terhadap fitnah. “Pemimpin diuji bukan dari seberapa sering ia diserang, melainkan dari seberapa konsisten ia bekerja untuk rakyat. Di negeri yang besar karena keberagaman, rasisme tak punya tempat. Yang menonjol haruslah hasil kerja, bukan asal-usul,” tutup Sekjen BSNPG itu.







Komentar