Pergi Sendiri, Tapi Tetap Warga Negara: Saat Empati Harus Lebih Dulu dari Regulasi

Berita64 Dilihat

JAKARTA,NUSANATARAVOICE.COM- Tragedi yang menimpa puluhan WNI di Kamboja bukan sekadar kisah buruh migran yang tersesat di negeri orang. Ia adalah potret kecil dari wajah besar bangsa yang sedang belajar memahami makna perlindungan. Sebanyak 97 WNI berusaha kabur dari perusahaan penipuan daring, 86 di antaranya ditahan, dan 11 harus dirawat di rumah sakit. Mereka pergi mencari nafkah, tapi yang mereka temukan justru jeratan eksploitasi.

Wakil Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Christina Aryani, menyebut bahwa Indonesia tidak memiliki kerja sama penempatan tenaga kerja di Kamboja. “Kita tidak pernah menempatkan ke Kamboja, tapi ya ini masyarakat pergi sendiri-sendiri,” katanya. Secara administratif, pernyataan itu mungkin benar. Tapi secara moral, kalimat itu mengandung luka. Sebab di balik “pergi sendiri” ada kegagalan kolektif negara dalam memastikan rakyatnya tidak berangkat tanpa perlindungan.

Negara sering kali berdiri di pagar legalitas: yang resmi dilindungi, yang tidak resmi ditinggalkan. Padahal migrasi ilegal lahir dari migrasi yang tidak diberi jalan resmi. Ketika akses kerja aman terbatas, orang mencari pintu lain meski gelap dan penuh risiko. Maka yang perlu dipertanyakan bukan sekadar siapa yang salah, tapi di mana negara ketika warganya berangkat tanpa arah. Negara tidak boleh menunggu rakyat jatuh baru menyiapkan pelukan hukum.

Baca juga:  Mimpi Besar La Ode Tariala: Anak Petani yang Kini Pimpin DPRD Sulawesi Tenggara

Dalam konteks ini, tanggung jawab negara tidak berhenti di meja perjanjian bilateral. Ia melekat pada seluruh warga negara, bahkan pada mereka yang melanggar batas administratif. “Sebab konstitusi tidak mengenal istilah “warga negara resmi” dan “warga negara yang pergi sendiri.” Keduanya sama dalam hak dan martabat. Negara harus hadir bahkan sebelum warganya mengetuk pintu,” terang Romadhon Jasn, Pemerhati kebijakan Publik dalam keterangan rilisnya, di Jakarta, Sabtu (25/10).

Menteri P2MI Mukhtarudin sebelumnya menegaskan bahwa jabatan publik di lembaganya bukan sekadar administratif, melainkan moral dan sosial. “Tugas ini menyangkut nasib jutaan pekerja migran dan keluarganya,” katanya saat melantik empat staf khusus minggu lalu. Pernyataan itu memberi konteks moral: bahwa pelindungan tidak bisa dibatasi oleh formalisme hukum. Di bawah arahannya, kementerian ini sedang membangun sistem yang lebih manusiawi, dan itulah harapan yang kini diuji di lapangan. “Langkah Mukhtarudin menunjukkan kepemimpinan yang tidak berhenti di meja birokrasi, tapi menyentuh nurani publik,” ujar Romadhon Jasn.

Komentar