Pergi Sendiri, Tapi Tetap Warga Negara: Saat Empati Harus Lebih Dulu dari Regulasi

Berita72 Dilihat

Kita bisa memuji kerja keras KemenP2MI dan Kementerian Luar Negeri dalam menangani kasus ini, namun kritik tetap perlu diarahkan agar empati mendahului prosedur. Sebab kecepatan bertindak adalah bentuk kasih sayang negara terhadap warganya. Dalam situasi seperti di Kamboja, prosedur tidak boleh mengalahkan nurani. Hukum seharusnya menjadi tangan yang menolong, bukan dinding yang memisahkan.

Persoalan WNI di Kamboja juga menunjukkan lemahnya ekosistem informasi di tingkat akar rumput. Masih banyak masyarakat yang tidak paham risiko kerja ilegal, mudah tergoda janji manis pekerjaan daring bergaji tinggi. Di sinilah pentingnya reformasi komunikasi publik. Negara tidak hanya hadir dalam kebijakan, tetapi juga dalam narasi yang bisa dipahami rakyat kecil. “Perlindungan pekerja migran tidak bisa lagi sektoral. Harus ada sistem terpadu antara diplomasi dan digitalisasi,” kata Romadhon Jasn menegaskan.

Langkah ke depan harus menyatukan lintas lembaga: KemenP2MI, Kemenlu, Imigrasi, dan Kominfo. Mereka perlu menciptakan sistem peringatan dini dan basis data terpadu untuk memantau mobilitas pekerja potensial. Digitalisasi dan diplomasi harus berjalan beriringan: satu mengamankan data, yang lain mengamankan martabat. Mukhtarudin sudah memulai dengan transformasi digital di kementeriannya sebuah pondasi penting untuk pencegahan jangka panjang.

Baca juga:  Telkom di Persimpangan: Antara Gangguan Jaringan, Reformasi Tata Kelola, dan Lompatan Digital

Namun, sistem terbaik pun tak akan bermakna jika empati tidak tumbuh menjadi kebijakan. Rakyat tidak butuh alasan kenapa mereka tidak dilindungi; mereka butuh rasa aman bahwa negara tetap hadir bahkan di tanah asing. Karena pada akhirnya, perlindungan bukan perkara izin kerja, tapi soal kemanusiaan. “Negara kuat bukan karena banyak aturan, tapi karena tahu kapan harus hadir sebelum rakyat berteriak,” tutup Romadhon Jasn.

Komentar