LPG 3 Kg Dibatasi, Kelas Menengah Terjepit: Subsidi Tepat Sasaran atau Kebijakan Setengah Matang?

Berita2000 Dilihat

JAKARTA, NUSANTARAVOICE.COM – Pemerintah tengah menyiapkan langkah besar yang disebut sebagai jalan menuju efisiensi: pembatasan pembelian LPG 3 kg mulai 2026. Namun di balik niat mulia itu, bayang-bayang tekanan terhadap ekonomi kelas menengah dan pelaku usaha kecil kian nyata. Pertanyaannya: apakah kebijakan ini betul-betul siap dijalankan?

Langkah ini dirancang untuk menyasar subsidi yang lebih tepat guna. Selama ini, LPG 3 kg yang dikenal sebagai “gas melon” tak hanya digunakan oleh masyarakat prasejahtera, tapi juga oleh kalangan rumah tangga menengah dan UMKM. Pemerintah menilai, tanpa sistem yang akurat, subsidi energi selama ini bocor ke segmen yang tidak seharusnya menikmati fasilitas negara.

Namun, pembatasan itu bukan tanpa konsekuensi. Pengamat ekonomi menyebut kebijakan ini berisiko “menekan ekonomi kelas menengah,” terutama yang selama ini tidak terdata sebagai penerima subsidi, namun sangat bergantung pada LPG 3 kg untuk keperluan rumah tangga maupun usaha mikro.

Sinyal pembatasan itu menunjukkan pola mirip seperti BBM bersubsidi: pendataan berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK), pembatasan kuota pembelian, hingga dorongan beralih ke LPG non-subsidi seperti Bright Gas 5,5 atau 12 kg. Pertanyaannya, sejauh mana sistem tersebut siap?

Baca juga:  Pemuda Muhammadiyah Sultra Ingatkan ASR-Hugua: Pimpin untuk Semua, Bukan Kelompok Tertentu

Romadhon Jasn, Direktur Eksekutif Gagas Nusantara, menyebut pemerintah perlu lebih berhati-hati dalam menjalankan agenda ini. “Kelas menengah yang tidak miskin, tapi juga belum mapan, bisa jadi korban kebijakan setengah matang. Efisiensi fiskal tidak boleh dicapai dengan mengorbankan stabilitas sosial,” ujarnya, kepada awak media, Senin (28/7/2025)

Dalam kerangka distribusi, PT Pertamina menjadi garda depan implementasi di lapangan. Namun tantangan tidak kecil. Dengan sistem yang belum sepenuhnya digital dan akurat di tingkat agen dan pangkalan, risiko antrean, kelangkaan semu, bahkan pasar gelap dapat muncul. Belum lagi potensi kegagalan dalam membedakan rumah tangga penerima dan bukan penerima subsidi.

Komentar