• 27.680 jemaah khusus (11,5%)
Artinya, sebanyak 8.400 kuota reguler dialihkan ke jemaah khusus, tanpa adanya persetujuan dari DPR.
Menurut Koordinator AMALAN Rakyat, Raffi, perubahan tersebut diduga melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, yang menetapkan kuota haji khusus maksimal hanya 8 persen dari total kuota nasional.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Tapi potensi korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam penyelenggaraan ibadah yang sangat sakral,” ujar Raffi saat menyampaikan laporan di KPK, Agustus 2024.
Ketua KPK, Setyo Budiyanto, menyatakan bahwa pihaknya juga membuka kemungkinan mengusut dugaan penyimpangan kuota haji di tahun-tahun sebelumnya, bukan hanya 2024.
“Ini bukan hanya tentang satu tahun anggaran. Kami mendalami struktur dan pola yang terjadi dari tahun ke tahun,” jelasnya.
Salah satu yang menjadi sorotan adalah tambahan kuota 20.000 jemaah dari Pemerintah Arab Saudi, yang dibagi rata 50:50 antara jemaah reguler dan jemaah khusus. Kebijakan tersebut juga dinilai tidak transparan dan membuka celah praktik jual-beli kuota.
Masyarakat berharap KPK tidak hanya berhenti di tahap penyelidikan, melainkan segera menindak pihak-pihak yang terlibat dalam penyalahgunaan kuota haji, sebuah program yang sangat sensitif bagi umat Islam di Indonesia.
Dengan antrean haji reguler yang bisa mencapai 20 hingga 30 tahun, segala bentuk manipulasi atau komersialisasi kuota dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap amanah publik dan nilai-nilai ibadah.
Komentar