Jakarta — Sekretaris Jenderal Visioner Indonesia, Akril Abdillah, menanggapi pernyataan kontroversial Anggota DPD RI, La Ode Umar Bonte (UB), yang menuding Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Andi Sumangerukka (ASR), “numpang isu” dalam proyek pembangunan Jembatan Muna-Buton. Menurut Akril, narasi yang dilontarkan Umar Bonte justru kontradiktif, menyesatkan publik, dan tidak memberi kontribusi konstruktif bagi kemajuan daerah.
Akril menilai, sikap Umar Bonte sarat dengan kontradiksi. Di satu sisi, ia mendesak Gubernur ASR agar merealisasikan proyek strategis Jembatan Muna-Buton. Namun di sisi lain, ia menuding ASR hanya “numpang isu” terhadap program tersebut.
“Jangan larut dalam kompetisi klaim siapa paling berjasa. Ini bukan soal siapa yang memulai, tapi siapa yang berani mengeksekusi. Proyek Jembatan Muna-Buton adalah kebutuhan strategis masyarakat Sultra, bukan sekadar prestise politik,” tegas Akril dalam pernyataan resminya, Jumat (18/7/2025).
Menurut Akril, Gubernur ASR justru menunjukkan keberanian politik dan komitmen nyata dalam mendorong realisasi proyek yang sudah lama tertunda. Langkah ASR untuk mendorong percepatan pembangunan Jembatan Buton-Muna juga merupakan wujud dari salah satu janji politiknya yang terimplisit sejak awal: menyatukan daratan dan kepulauan Sulawesi Tenggara.
“ASR hadir bukan untuk numpang isu, tapi memastikan proyek ini tidak berhenti di atas kertas. Kalau hanya berhenti di meja perencanaan tanpa keberanian eksekusi, rakyat tidak akan menikmati manfaat apa-apa,” lanjutnya.
Terkait kritik bahwa proyek ini tidak tercantum dalam visi-misi awal ASR, Akril menjelaskan bahwa kepemimpinan yang adaptif harus merespons kebutuhan riil masyarakat, meskipun tidak tertulis dalam dokumen perencanaan awal. “Justru itulah bentuk kepemimpinan visioner dan responsif,” tegasnya.
Sekjen Visioner Indonesia itu juga menyayangkan penggunaan istilah “drama Korea” oleh Umar Bonte dalam menyikapi keterlibatan sejumlah tokoh saat Menteri PUPR turun ke lokasi proyek. Akril menilai, pernyataan seperti itu tidak pantas digunakan dalam konteks pembangunan yang serius dan berdampak luas.
“Pemimpin yang turun ke lapangan adalah pemimpin yang peduli. Bukan saatnya kita mendorong politik sinis. Saatnya kita mengedepankan politik kolaborasi,” ucapnya.
Visioner Indonesia meluruskan informasi yang beredar bahwa proyek ini baru dimulai saat masa Penjabat Gubernur Andap Budhi Revianto. Akril menyebut klaim itu sebagai pemutarbalikan dan upaya pengaburan fakta sebenarnya.
“Proyek ini telah digagas sejak era Gubernur La Ode Kaimuddin dan diteruskan oleh Amirul Tamim serta Wali Kota Bau-Bau saat itu. Bahkan, desain awal sudah dimiliki Pemkot Baubau,” jelasnya.
Pada tahun 2018, perencanaan proyek makin konkret ketika Ridwan Bae di DPR RI mendorong penganggaran riset melalui APBD 2018. Saat itu, Gubernur Ali Mazi melalui Balitbang (dipimpin Dr. Sukanto Toding) membentuk tim riset yang terdiri dari: Tim Akademisi: dipimpin Dr. Bahtiar dan Romi Tamburaka sebagai ahli teknik dan Tim Pendamping Balitbang: dipimpin Kabid Sosial Kependudukan.
Hasil riset tersebut menghasilkan tiga temuan penting perubahan titik jembatan ke lokasi dekat kuburan Sangi Wambula, desain ulang menjadi jembatan gantung, bukan tiang pancang, karena kondisi arus laut dan kedalaman dan dampak ekonomi yang sangat besar, terutama untuk pertumbuhan wilayah kepulauan Muna dan Buton.
Komentar