Politik Identitas yang Eksploitatif: Narasi Usang di Era Dinamika Kebangsaan

Opini, Politik251 Dilihat

Politik Identitas Cara Primitif  

Dalam dunia politik kontemporer, politik identitas sering dianggap sebagai cara kuno karena mengandalkan elemen fundamental seperti suku, agama, atau etnisitas sebagai alat utama untuk mendapatkan dukungan. Memilih pemimpin atau menentukan kebijakan hanya berdasarkan kepentingan kelompok adalah cara yang sempit dan tidak efektif di zaman di mana masalah bangsa semakin kompleks dan beragam. Politik identitas adalah strategi politik yang menekankan pembelahan sosial daripada kemajuan dan polarisasi daripada persatuan.

Politik identitas sebagai dasar kampanye bertentangan dengan prinsip kemajuan. Politisi yang tidak memiliki solusi nyata untuk masalah bangsa sering menggunakan metode ini. Politik identitas justru mendorong masyarakat ke dalam sentimen yang sempit yang berisiko memecah belah, alih-alih memberikan visi dan program yang berbasis data. Pada dasarnya, politik identitas mengabaikan masalah utama seperti kesejahteraan rakyat, kemajuan pendidikan, perbaikan layanan kesehatan, dan pengentasan kemiskinan.

Karena pemimpin yang dipilih melalui politik identitas sering kali hanya memperhatikan kelompok yang mendukung mereka, pendekatan ini juga menghambat pembentukan kebijakan yang berbasis keadilan sosial. Akibatnya, banyak kepentingan masyarakat luas terabaikan, terutama kepentingan yang tidak terwakili oleh identitas yang diutamakan. Selain itu, ketidaksamaan dan ketidaksetaraan kebijakan semakin rentan, yang menghambat pembangunan kesejahteraan yang merata dan berkelanjutan. 

Sebaliknya, politik identitas menunjukkan bahwa beberapa politisi belum siap untuk membangun negara dalam konteks yang lebih luas. Metode ini lebih mencerminkan cara berpikir dan nilai-nilai di masa lalu, ketika identitas menjadi penanda utama dalam kehidupan sosial. Namun, di era globalisasi saat ini, yang semakin menekankan kompetensi dan kolaborasi lintas identitas, metode ini tidak hanya usang tetapi juga merugikan.

Baca juga:  Vietnam Pecat 8000 PNS Demi Efisiensi, Ini Kata Mereka yang Dipecat

Politik identitas seharusnya dianggap kuno oleh masyarakat demokrasi yang matang. Pemimpin yang layak dipilih adalah mereka yang dapat memecahkan masalah nyata dan membawa bangsa menuju masa depan yang lebih baik, bukan mereka yang hanya mengandalkan identitas untuk mendapatkan dukungan. Sebaliknya, kita membutuhkan politik yang berbasis kinerja dan rekam jejak. 

Mengakhiri politik identitas adalah langkah penting menuju politik yang lebih baik, dewasa, dan beradab. Dengan menghindari metode kuno yang dapat memecah belah, kita dapat berkonsentrasi pada politik yang memajukan, politik yang menghargai perbedaan tanpa menggunakannya sebagai alat untuk memecah belah, dan politik yang benar-benar bekerja untuk kepentingan umum.

Mengakhiri Isu Politik Identitas 

Untuk menyelesaikan masalah politik identitas, seluruh masyarakat harus bertindak, mulai dari pemimpin, organisasi masyarakat, hingga individu warga. Selama bertahun-tahun, politik identitas telah merusak solidaritas sosial dan menghambat potensi kemajuan bangsa. Saatnya semua orang menyadari betapa pentingnya membangun narasi kebangsaan yang lebih inklusif yang menekankan persatuan di tengah keberagaman sebagai kekuatan bangsa. Pemerintah dan partai politik bertanggung jawab atas upaya ini. Mereka harus berkomitmen untuk menghindari menggunakan politik identitas sebagai alat kampanye. 

Sebaliknya, kampanye harus berkonsentrasi pada masalah konkret yang dihadapi masyarakat, seperti peningkatan akses ke pendidikan, perbaikan kesehatan, dan pembangunan infrastruktur. Untuk membuat masyarakat percaya bahwa kepentingan mereka didahulukan daripada kepentingan golongan tertentu, pengambilan keputusan harus transparan dan terbuka.

Di sisi lain, lembaga pendidikan dan media massa juga bertanggung jawab untuk mengajarkan masyarakat untuk menjadi lebih kritis saat memilih pemimpin. Untuk mencegah kecenderungan masyarakat untuk mendukung kandidat hanya berdasarkan identitas, pendidikan politik harus difokuskan pada prinsip-prinsip kebangsaan dan etika publik. Media harus tetap jujur saat meliput konflik politik; mendorong pemberitaan yang objektif dan bebas dari bias identitas; dan menghindari cerita yang dapat memecah belah masyarakat.

Baca juga:  106 Anggota DPRD DKI Jakarta Resmi Dilantik

Peran masyarakat juga sangat penting. Masyarakat harus bijak dan kritis saat memilih pemimpin berdasarkan prestasi dan visi mereka, bukan identitas. Pemimpin tidak boleh dipilih berdasarkan suku, agama, atau latar belakang. Selain itu, komunitas yang menyadari risiko politik identitas harus terlibat dalam percakapan publik, menekankan pentingnya kesetaraan dan persatuan, dan mendorong anggota komunitas mereka untuk melihat politik sebagai alat untuk kemajuan bersama.

Mungkin membutuhkan waktu untuk menyelesaikan masalah politik identitas, tetapi perubahan besar bisa dimulai dari kesadaran dan keinginan kita untuk berubah. Dengan menumbuhkan budaya politik yang sehat, inklusif, dan berbasis kinerja dan rekam jejak, kita tidak hanya membangun demokrasi yang lebih kokoh tetapi juga memperkuat persatuan bangsa. Inilah pondasi yang dibutuhkan untuk mencapai cita-cita bersama: membangun bangsa yang adil, maju, dan sejahtera untuk semua orang.

Lebih jauh, mengakhiri politik identitas juga berarti membangun ruang politik yang lebih etis dan beradab. Dalam sistem politik yang ideal, pemimpin dipilih bukan karena atribut personal mereka, tetapi karena kualitas, kompetensi, dan visi yang mereka tawarkan untuk kemajuan bersama. Ini akan mengarahkan energi politik ke arah yang lebih konstruktif, mendorong para calon pemimpin untuk berlomba-lomba memberikan solusi nyata yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, daripada menggunakan taktik yang bersifat memecah belah.

Untuk menangani politik identitas, juga diperlukan tindakan pencegahan yang lebih baik, salah satunya adalah memperkuat undang-undang kampanye. Jika ada peraturan yang ketat dan jelas, penggunaan narasi berbasis identitas dalam kampanye politik akan dibatasi. Lembaga pengawas seperti Bawaslu harus bertindak lebih tegas terhadap praktik politik identitas yang melanggar demokrasi. Ini akan menyampaikan pesan yang kuat kepada para politisi bahwa memanfaatkan masalah identitas untuk kepentingan politik bukan hanya tidak etis, tetapi juga melanggar hukum.

Baca juga:  Ruksamin-Sjafei Kahar Dapat Nomor Urut 1, Tokoh Pemuda Sultra: Sultra Satu Suara

Di era digitalisasi, platform media sosial sangat penting. Dunia maya sering kali menjadi tempat yang ideal untuk menyebarkan masalah identitas politik melalui berita bohong dan ujaran kebencian. Untuk itu, pemerintah, perusahaan teknologi, dan masyarakat harus bekerja sama untuk membatasi penyebaran konten yang mengadu domba. Media sosial harus diatur dengan hati-hati agar tidak menjadi platform propaganda identitas yang dapat merusak masyarakat. 

Agenda bersama untuk mengakhiri politik identitas juga harus ada. Ini tidak dapat dicapai dalam satu atau dua siklus pemilu; itu harus menjadi fondasi permanen dari demokrasi kita. Jika masyarakat, media, pemerintah, dan seluruh elemen bangsa bersatu untuk menolak politik identitas, kita akan dapat membangun budaya politik yang lebih dewasa, dewasa, dan bermartabat.

Pada akhirnya, mengakhiri politik identitas adalah upaya untuk menciptakan demokrasi yang berfokus pada hal-hal fundamental: kesejahteraan, keadilan sosial, dan kemajuan yang berkelanjutan. Dengan demikian, kita tidak hanya membangun politik yang sehat, tetapi juga membangun bangsa yang kuat, di mana setiap warga merasa diakui, dihargai, dan diperlakukan setara tanpa memandang identitas mereka. Inilah masa depan yang layak diperjuangkan bersama, demi Indonesia yang lebih adil, bersatu, dan sejahtera.

Komentar