Perlu kita pahami bahwa memang secara konseptual dalam sistem demokrasi semakin banyak kontestan dalam pemilu maka semakin hidup demokrasinya. Namun, jika pada akhirnya nanti hanya ada satu pasangan calon yang siap berkontestasi maka memilih “Kotak Kosong” bukanlah solusi untuk keberlangsungan demokrasi dan kesejahteraan justru malah memperlemah legitimiasi demokrasi dalam proses memilih pemimpin. Demokrasi tidak boleh dipahami hanya sebatas pada calon pemimpin yang akan berkontestasi tetapi kita harus memahami sistem demokrasi secara komprehensif bahwa demokrasi juga seharusnya memperkuat keterlibatan warga negara dalam memilih pemimpin dan bukan memfasilitasi penolakan terhadap kandidat tunggal tanpa alternatif yang jelas.
Fenomena “ Kotak Kosong” di kabupaten Muna Barat bagi saya adalah suatu pertarungan yang sportif (Fair play). Hal ini dikarenakan dalam kontestasi pemilihan kepala daerah yang secara yuridis diatur dalam UU No. 10 Tahun 2016 perubahan kedua dari UU No. 1 Tahun 2015, mengatur tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota secara langsung telah memberikan dua jalan bagi warga negara yang ingin mencalonkan dirinya sebagai kepala daerah yakni jalur Independen (Pasal 41) dan jalur Konsolidasi partai (Pasal 40). Jalur independen dalam sistem demokrasi memberikan ruang dan kesempatan kepada warga negara untuk mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, atau wali kota) tanpa harus tergabung atau didukung oleh partai politik.
Jika kita mengacu pada ketentuan diatas, maka tidak alasan dan dasar argumentasi apapun untuk menyatakan bahwa adanya “kotak kosong” menjadikan pertarungan tidak demokratis. Jalur konsolidasi partai juga menjadi jalan dan syarat bagi calon kepala daerah yang enggan memilih jalur independen dengan berusaha merebut rekomenasi B1-KWK masing-masing partai yang siap mengusung. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik juga menjadi dasar yuridis bagi partai politik untuk mengusung calon kepala daerah dimana Pada Pasal 11 mengatur bahwa salah satu fungsi partai politik adalah “melakukan rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi, termasuk pemilihan umum.” Sehingga Konsolidasi partai yang dilakukan calon kepala daerah untuk mendapatkan dukungan partai politik merupakan bagian dari rekrutmen politik ini. Bahkan dalam undang-undang partai politik sekalipun tidak menyebutkan secara spesifik kewajiban partai politik untuk mengusung calon kepala daerah yang berasal dari internal partai sebab norma kita memberikan ruang bagi partai melalui AD/ART partai untuk mengatur urusan internalnya. Terlebih dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah ambang batas pencalonan kepala dan wakil kepala daerah telah membuka ruang demokrasi selebar-lebarnya bagi warga negara yang ingin menjadi calon kepala daerah lewat jalur partai.
Dengan demikian, dalam kontestasi pilkada mendatang di kabupaten Muna Barat, tidak ada alasan yang rasional untuk memilih “Kotak Kosong”. Akan tetapi, pilihan politik setiap warga negara adalah hak konstitusional yang wajib dihormati. Alangkah lebih bijak jika kita meletakan pilihan kita pada calon tunggal yang memiliki visi, misi, dan program yang jelas.
Darwin-Ali Vs Kotak Kosong: Pelemahan atau Fair Play?

Komentar